Opini – Akhir-akhir ini, berita mengenai kasus pencabulan atau kekerasan seksual di dunia pendidikan kian marak. Terbaru, seorang guru Honorer di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) kota Gorontalo berinisial MAL diduga menyodomi 4 siswanya.
Kasus ini terungkap berawal dari salah satu korban yang melaporkan kejadian ini kepada orang tuanya. Lalu, orang tua melaporkan hal tersebut ke Polda Gorontalo. Berdasarkan keterangan pelapor, Sang guru diduga melancarkan aksinya sejak awal November 2023 lalu. Bak bola salju menggelinding, muncul tiga siswa lainnya yang mengaku menjadi korban oknum guru kesenian itu. Adanya peristiwa ini menambah daftar hitam kasus pelecehan seksual yang terjadi di provinsi yang dikenal dengan julukan “Serambi Madinah” itu.
Terus Berulang
Jika kita lihat dari beberapa tahun yang lalu, sekitar bulan Oktober 2019 silam pernah terjadi kasus pelecehan seksual dilakukan oleh salah satu pimpinan ponpes yang ada di kabupaten Boalemo terhadap santrinya. Awal tahun 2022, oknum dosen perguruan tinggi islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi.
Berdasarkan data yang dihimpun KPAI sepanjang 2021, setidaknya ada 18 kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan. Pelaku kekerasan seksual terdiri dari pendidik/guru sebanyak 10 orang (55.55%), Kepala Sekolah/Pimpinan Pondok Pesantren sebanyak 4 orang (22,22%), pengasuh (11,11%), tokoh agama (5,56%) dan Pembina Asrama (5,56%). Pengumpulan data dilakukan mulai 2 Januari-27 Desember 2021 melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban ke pihak kepolisian dan diberitakan oleh media massa. (Mediaindonesia, 28-12-2021).
Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan ibarat gunung es, apa yang muncul baru lah puncak gunung es dari sejumlah kasus yang jauh lebih banyak di bawah permukaannya.
Miris bukan? Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan teraman bagi anak didik untuk menimba ilmu, malah menjadi benih munculnya Predator seks yang siap memangsa mereka. Guru/tenaga pendidik yang seharusnya memberikan teladan bagi anak didiknya, malah melakukan tindakan keji. Ada apa dengan dunia pendidikan hari ini? Generasi terancam, guru tidak lagi menjadi panutan. Hukuman seakan mati rasa bagi para pelaku kekerasan seksual.
Akar Masalah
Pada dasarnya, perlindungan dan penjagaan yang aman anak dapatkan oleh seorang anak ketika dibawah asuhan orang tua, guru dan lingkungan yang tepat. Namun apa yang terjadi jika pihak yang seharusnya memberikan perlindungan dan keamanan tersebut menjadi ancaman terbesar bagi mereka?
Seorang guru yang notabene memiliki tugas mulia mendidik generasi, menjadi pengayom dan teladan, malah melakukan tindakan asusila kepada anak didik. Tindakan ini tentu telah menciderai profesi guru sekaligus merupakan bentuk kriminal dan kejahatan.
Makin maraknya perbuatan asusila di lingkungan pendidikan hari ini, maka perlu kitamencermati kasus-kasus tersebut, kita harus memandang secara menyeluruh dan komprehensif karena ini bukan hanya persoalan hukuman bagi pelaku atau nasib korban yang nantinya akan mengalami trauma berkepanjangan. Tapi juga dari penyebab mendasar kenapa kasus pelecehan ini terus terjadi tiap tahunnya.
Dari pihak pemerintah tentu sudah melakukan beragam upaya tindakan regulasi untuk pencegahan dan penanggulangan tindakan kekerasan seksual, termasuk perlindungan bagi siswa dan guru. Regulasi ini berupa Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penganggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan. Aturan ini secara detail mengatur langkah dan strategi dan upaya preventif sekaligus kuratif terhadap kekerasan di sekolah. Namun, sejumlah regulasi yang ada belum mampu menuntaskan problem ini. Ini artinya ada kesalahan dalam merumuskan akar masalah sehingga regulasi yang diberikan gagal menyolusi pelecehan seksual pada anak yang makin rawatdarurat, tidak lebih di dunia pendidikan hari ini. Maka sudah semestinya tidak menyelesaikan kasus per kasus, sebab kasus yang sama berulang dari tahun ketahun. Lantas dimana letak kesalahannya? Mengapa begitu banyak Predator seks berkeliaran?
Maraknya tindakan kekerasan seksual atau pencabulan sejatinya karena tidak ada perlindungan berlapis untuk anak. Hal ini disebabkan berkurangnya pemahaman tentang kewajiban negara, masyarakat dan keluarga serta tidak diberlakukannya aturan yang sesuai di tengah-tengah masyarakat. Akar masalah dari kejahatan seksual pada anak ialah penerapan sistem sekulerisme dalam kehidupan. Sistem sekulerisme ini mengikis pemahaman mendasar tentang agama pada seorang muslim, yakni akidah dan pemberlakukan syariat islam.
Akibatnya kaum muslim hari ini tidak mampu memahami secara menyeluruh aturan islam. Islam hanya dipakai dalam ranah ibadah individu. Sedangkan di ranah sosial dan masyarakat memakai hukum sekuler buatan manusia. Padahal Islam punya solusi tuntas untuk menyelesaikan maraknya predator seks.
Kembali Pada Islam
Setelah kita memahami akar masalah Predator seks kian marak hari ini terletak pada sistem sekularisme, maka kita perlusolusi tuntas atas permasalahan ini, yakni kembali pada Islam. Islam memiliki sejumlah perlindungan berlapis dalam mengatasi kekerasan seksual, yakni dari keluarga, masyarakat dan negara baik secara preventif maupun kuratif.
Pertama, dari keluarga. Sebagai tempat pertama anak untuk belajar menemukan benteng utama diri dari kemaksiatan yakni pengokohan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, tentu ayah dan ibu saling bekerja sama memberikan pengajaran yang baik dan benar berdasarkan islam.
Kedua, dari masyarakat. Sebagai pengontrol anak-anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Masyarakatnya memahami kewajiban beramar ma’ruf nahim munkar sehingga mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi perkembangan dan pertumbuhan anak.
Ketiga, dari negara. Negara sebagai pelindung utama. Wajib memberikan pemenuhan kebutuhan rakyat baik dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan bahkan keamanan setiap anak. Maka wajibnya negara memberikan perlindungan berlapis untuk melindungi anak dari maksiat dan perilaku buruk. Diantaranya :
Pertama, Negara mengelola dan mengatur pola interaksi antara laki-laki dan perempuan berdasarkan aturan islam dengan cara : (1) kewajiban menutup aurat, menundukkan pandangan dan berhijab syar’i; (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan yang bukan mahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan mengeksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa disertai mahram.
Kedua, Negara mengoptimalkan fungsi lembaga media dan informasi untuk menyaring konten-konten dan tayangan yang merusak generasi, seperti konten-konten porno, tayangan-tayangan memperlihatkan aurat, serta perbuatan apapun yang mengarah kepada kemaksiatan.
Ketiga, Negara menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat yang berdakwah dengan saling memberi nasihat di antara sesama.
Keempat, Negara memberikan sanksi yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan jenis dan kadar kejahatannya menurut syariat Islam. Sehingga pelaku merasa jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Sistem sanksi dalam Islam merupakan langkah kuratif jika langkah preventif sudah dilakukan tapi masih terjadi pelanggaran. Sistem sanksi ini memberikan 2 fungsi, (1) Jawaajir (memberikan efek jera bagi pelaku), (2) Zawaabir (Penebus dosa bagi pelaku kejahatan).
Maka dari itu sudah saatnya kehidupan kita ini dikembalikan kepada aturan sang Pencipta yakni Allah SWT, karena sejatinya Dia-lah yang berhak mengatur manusia sehingga akan tercipta keamanan bagi semua masyarakat termasuk anak-anak.
(Aktivis Dakwah)
GIPHY App Key not set. Please check settings